Solo, klik-infopo.com – Hendrix menilai bahwa keistimewaan yang diusung Keraton Solo bersumber dari vorstenlanden status khusus warisan kolonial Belanda yang memberikan hak istimewa kepada kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai mitra penjajah. Sistem ini memungkinkan elite feodal untuk menguasai tanah dan rakyat dengan dalih adat, tetapi dalam kendali kolonial.
“Semangat nasionalisme 1945 lahir dari perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan feodalisme. Revolusi bukan hanya untuk mengusir Belanda, tetapi juga membongkar struktur feodal yang menindas rakyat,” tegas Hendrix.
Ia mengingatkan bahwa setelah kemerdekaan, gerakan rakyat di Solo menuntut penghapusan sistem swapraja (pemerintahan kerajaan) karena dianggap sebagai warisan kolonial yang tidak lagi relevan dalam negara yang berbasis kedaulatan rakyat.
Hendrix menegaskan bahwa integrasi Kasunanan Surakarta ke Indonesia pada 1946 bukanlah bentuk pengorbanan keraton, melainkan hasil tekanan rakyat yang menginginkan pemerintahan egaliter. “Status keistimewaan keraton dicabut karena bertentangan dengan semangat UUD 1945. Yang diakui hanya aspek budayanya, bukan kekuasaan politiknya,” jelasnya.
Menurutnya, kritik yang dilontarkan Keraton Solo hari ini justru menunjukkan keinginan untuk menghidupkan kembali privilese kolonial yang bertentangan dengan prinsip republik.
“Feodalisme mengajarkan rakyat untuk tunduk pada simbol dan garis keturunan, sementara nasionalisme mengajarkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Ini dua hal yang bertolak belakang,” tegas Hendrix.
Hendrix menilai klaim Putra Mahkota Keraton Solo mengabaikan fakta bahwa rakyatlah yang menuntut pembubaran sistem swapraja. “Pada 1945-1946, aksi-aksi pengambilalihan tanah keraton dan pembentukan pemerintahan rakyat di Solo adalah bukti penolakan terhadap feodalisme,” ujarnya.
Menurutnya, jika keraton hari ini merasa memiliki kontribusi bagi Indonesia, seharusnya mereka mengingat bahwa jasa terbesar mereka adalah melebur ke dalam republik, bukan menyesali integrasi.
Ia juga mengkritik anggapan bahwa kekecewaan keraton terhadap kondisi bangsa dapat dijadikan alasan untuk menghidupkan kembali feodalisme. “Jika ada ketimpangan sosial hari ini, itu karena oligarki dan sisa feodalisme yang masih bertahan, bukan karena republik gagal,” tegasnya.
Hendrix menegaskan bahwa dirinya tidak menafikan peran keraton dalam pelestarian budaya. “Yang ditolak adalah upaya mengembalikan keraton sebagai entitas politik dengan dalih sejarah kolonial,” jelasnya.
Di era demokrasi, legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat melalui pemilu, bukan dari garis keturunan. “Mengungkit-ungkit keistimewaan kolonial justru bertentangan dengan perjuangan ribuan rakyat Solo yang berkorban demi republik yang setara,” tambahnya.
Polemik ini, menurut Hendrix, membuktikan bahwa revolusi Indonesia belum sepenuhnya tuntas. “Feodalisme memang telah kehilangan kekuatan politiknya, tetapi mentalitasnya masih hidup dalam bentuk nostalgia sejarah,” pungkasnya.
Nasionalisme rakyat, yang diperjuangkan dalam Revolusi 1945, harus terus dijaga agar tidak tergantikan oleh romantisme feodal yang justru menghambat demokrasi. “Indonesia lahir dari perjuangan rakyat, bukan dari restu para bangsawan,” tegas Hendrix.
(Devi)