Desember 13, 2025

Fenomena Wartawan Kehilangan Independensi dan Menjadi Corong Kekuasaan

file_000000004aec72078cb5e7b0aef14262 (1)

Fenomena Wartawan Kehilangan Independensi dan Menjadi Corong Kekuasaan

Dalam ekosistem demokrasi lokal, wartawan seharusnya menjadi mata dan telinga publik. Mereka dituntut menjalankan fungsi pengawasan (watchdog), menyampaikan fakta, serta mengungkap penyimpangan kekuasaan. Namun di berbagai daerah, termasuk dalam lingkup pemerintahan lokal, muncul fenomena sebagian wartawan yang secara terang-terangan meninggalkan prinsip independensi dan berubah menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah.

Fenomena ini bukan hanya soal profesionalisme, tetapi juga menyangkut moral dan etika jurnalistik. Ketika wartawan tidak lagi berpihak kepada kepentingan publik dan justru membela kekuasaan demi keuntungan pribadi, maka peran pers sebagai pilar demokrasi melemah. Lebih jauh, kehadiran mereka bahkan dapat menghambat perjuangan kelompok masyarakat sipil dan LSM yang mengadvokasi kepentingan publik.

Pers yang Kehilangan Fungsi Pengawasan

Dalam prinsip dasar jurnalistik, pers berperan sebagai watchdog — mengingatkan ketika ada potensi penyimpangan. Namun yang terjadi di lapangan kerap sebaliknya. Ada wartawan yang justru menjadi pembela pemerintah, bahkan ketika terdapat indikasi kebijakan merugikan masyarakat.

Motivasi di balik perilaku ini beragam: tekanan ekonomi, kedekatan personal dengan pejabat, hingga kenyamanan fasilitas. Apa pun alasannya, dampak akhirnya sama: publik kehilangan kepercayaan terhadap media.

Menjadi “Humas Tidak Resmi” Pemerintah

Masalah serius muncul ketika wartawan berperan layaknya staf humas pemerintah tanpa posisi resmi. Mereka sibuk membangun citra penguasa, menutupi kritik, bahkan menyerang kelompok masyarakat yang melakukan aksi protes.

Alih-alih menggali fakta, mereka malah menuding demonstran sebagai penyebar hoaks atau pengacau. Padahal tugas pers bukan memadamkan kritik, tetapi memastikan setiap suara — termasuk suara warga yang menyampaikan ketidakpuasan — dapat terdengar.

Ketika wartawan bersikap memusuhi LSM atau aktivis, sesungguhnya ia telah melangkahi prinsip dasar kebebasan pers.

Benturan Kepentingan yang Merusak Profesi

Wartawan boleh memiliki pandangan politik, namun tidak boleh membiarkan pandangan tersebut mendikte pemberitaan. Benturan kepentingan terjadi ketika akses fasilitas, kedekatan kekuasaan, atau keuntungan pribadi memengaruhi isi berita.

Fenomena ini terlihat jelas ketika wartawan lebih bersemangat menyerang kritik publik daripada mengkritisi kebijakan bermasalah. Sikap seperti ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap kode etik jurnalistik dan mencoreng marwah profesi.

Ketika Wartawan Menyerang Masyarakat Sipil

LSM dan kelompok masyarakat sipil memiliki peran penting sebagai penyeimbang kekuasaan. Aksi demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin undang-undang. Jika wartawan justru berperan melemahkan suara kritis ini, maka ia sesungguhnya mempersempit ruang demokrasi.

Pers seharusnya menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah, bukan menjadi alat propaganda untuk mempertahankan kenyamanan penguasa.

Independensi: Harga Mati dalam Jurnalistik

Tanpa independensi, berita berubah menjadi propaganda. Tanpa keberpihakan kepada publik, jurnalisme hanya menjadi alat pencitraan.

Wartawan yang menjaga etika akan tetap kritis, menjaga jarak dari kekuasaan, dan berpegang pada fakta meski tidak populer di mata pejabat. Media harus berdiri atas kepentingan publik, bukan atas kepentingan kelompok dominan.

Saatnya Menata Ulang Marwah Jurnalisme Daerah

Jika fenomena kehilangan independensi dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap media akan semakin menurun. Ruang demokrasi menyempit, dan kekuasaan berjalan tanpa pengawasan.

Perlu upaya serius untuk memulihkan marwah jurnalistik:

memperkuat literasi etik wartawan,

memperteguh peran organisasi profesi,

memberi ruang bagi media independen,

dan mendorong wartawan kembali bekerja berdasarkan kode etik, bukan kepentingan pribadi.

Pers yang kuat dan independen adalah syarat terciptanya pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Ketika wartawan memilih berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan, saat itulah demokrasi benar-benar hidup.

———-
penulisan kredit:
> Oleh: Rai Kaba Malaka
Penulis adalah pemerhati demokrasi lokal dan kebebasan pers.
Editor: Andry Bria
Redaksi: Klik-Infopol.com — Suara Rakyat, Fakta & Integritas