Universitas Paramadina Bedah Arah Pendidikan Tinggi Nasional: Dari Krisis Kualitas Menuju Kampus Global Berdampak
Universitas Paramadina Bedah Arah Pendidikan Tinggi Nasional: Dari Krisis Kualitas Menuju Kampus Global Berdampak
Klik-infopol. Com|Jakarta,
| Selasa (16/12/2025) — Universitas Paramadina menggelar Diskusi Publik bertajuk “Evaluasi & Outlook Pendidikan Tinggi Riset Menuju Kampus Global” sebagai ruang refleksi kritis atas arah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia di tengah kompetisi global yang semakin ketat. Forum ini mempertemukan pemangku kepentingan strategis dari kalangan legislatif dan pimpinan perguruan tinggi nasional.
Diskusi dipandu oleh Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Universitas Paramadina, dengan menghadirkan sejumlah narasumber utama, yakni Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP (Ketua Komisi X DPR RI), Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D (Rektor Universitas Paramadina), Prof. Sofia W. Alisjahbana, M.Sc., Ph.D (Rektor Universitas Bakrie), Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., IPU (Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung), serta Prof. Andi Andriansyah, M.Eng.
Krisis Arah dan Kualitas Pendidikan Tinggi
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menyampaikan kritik keras terhadap kondisi pendidikan tinggi nasional yang dinilainya kehilangan arah strategis. Menurutnya, perguruan tinggi Indonesia gagal memanfaatkan momentum untuk meningkatkan kualitas, riset, dan inovasi secara serius.
> “Dunia kampus kita telah kehilangan momentum untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi, daya inovasi, riset, dan lainnya, apalagi untuk mengejar ketertinggalan kualitas SDM dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia,” tegas Prof. Didik.
Ia menekankan bahwa kualitas pendidikan tinggi memiliki korelasi langsung dengan daya saing ekonomi bangsa. Prof. Didik mencontohkan Vietnam yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 7,5 persen per tahun sebagai hasil dari investasi serius dalam pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi yang berkualitas.
Prof. Didik juga mengkritik keras praktik ekspansi masif perguruan tinggi negeri yang mengabaikan rasio ideal dosen dan mahasiswa.
> “Ketika rasio dosen dan mahasiswa dihitung di kampus negeri, ditemukan rasio 1 banding 250. Ini jelas tidak sehat, baik bagi kampus negeri maupun bagi ekosistem pendidikan tinggi secara keseluruhan,” ujarnya.
Ia menilai pembukaan kelas magister oleh perguruan tinggi negeri di Jakarta tidak berdampak pada peningkatan mutu akademik.
> “Itu praktis hanya kelas untuk menambah pendapatan kantong dosen-dosennya. Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas dosen, riset, dan inovasi perguruan tinggi,” tandasnya.
Prof. Didik menutup pemaparannya dengan menyerukan agar orientasi perguruan tinggi negeri dikembalikan pada riset dan inovasi, bukan sekadar pengajaran massal.
Akses, Biaya, dan Ketimpangan Kualitas
Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, menyoroti tiga persoalan utama pendidikan tinggi nasional, yakni ketersediaan dan akses, keterjangkauan biaya, serta ketimpangan kualitas perguruan tinggi yang masih terpusat di Pulau Jawa.
Menurut Hetifah, tantangan riset dan inovasi semakin mendesak seiring perubahan cepat kebutuhan dunia industri dan masyarakat. Perguruan tinggi, kata dia, harus bertransformasi dari sekadar institusi pengajaran menjadi pusat inovasi dan penggerak kemajuan ekonomi nasional.
Transformasi tersebut diperlukan agar lulusan perguruan tinggi mampu menjawab tantangan strategis bangsa, seperti transisi energi terbarukan, ketahanan pangan, serta penguasaan sains dan teknologi.
Dari Teaching University ke Kampus Berdampak
Dari perspektif transformasi kelembagaan, Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., IPU, menekankan pentingnya peningkatan kualitas berbasis strategi dan perencanaan jangka panjang. Ia menyebut pemeringkatan global dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk memetakan prioritas dan arah transformasi kampus.
Ia mendorong perguruan tinggi untuk bertransformasi dari teaching university menuju research university, hingga entrepreneurial university atau yang ia sebut sebagai “kampus berdampak.”
Menurutnya, perguruan tinggi harus berperan sebagai penghela ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan bukti (evidence-based economy), serta berkontribusi nyata dalam perumusan kebijakan publik.
Kritik terhadap Obsesi Perangkingan Global
Pandangan kritis disampaikan oleh Prof. Andi Andriansyah, M.Eng. Ia menilai fokus berlebihan pada indikator kuantitatif seperti publikasi, sitasi, dan reputasi akademik telah menimbulkan distorsi tujuan pendidikan tinggi.
> “Seolah-olah kampus menjadi pabrik publikasi dan sitasi, tetapi tidak mengukur dampak nyata riset terhadap masyarakat,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa banyak persoalan lokal dan regional justru terabaikan akibat obsesi terhadap standar global.
> “Akhirnya dosen dan civitas akademika tertekan mengejar kuantitas riset, bukan kualitas dan dampaknya,” tambahnya.
Prof. Andi mengusulkan pergeseran paradigma dari global ranking menuju global relevance, yakni pengakuan dunia terhadap perguruan tinggi yang relevan dan memberi dampak nyata bagi masyarakat.
Diskusi ini menegaskan urgensi reformasi pendidikan tinggi nasional agar tidak terjebak pada angka dan formalitas, melainkan benar-benar menjadi motor penggerak kemajuan bangsa berbasis riset, inovasi, dan dampak sosial nyata.
—
Editor: Andry Bria & Edy .S
Redaksi: Klik-Infopol.com — Suara Rakyat, Fakta &
Integritas






